Muhammad. Demikian nama yang diberikan oleh Abdul Mutholib sang kakek tercinta. Sebuah nama yang belum pernah ada sebelumnya di zaman kafir Quraisy. Bahkan saat pemberiaan nama tersebut, beberapa pemuka suku memepertanyakan kenapa Abdul Mutholib memberi nama Muhammad. Muhamad sang terpuji. Jika nama Ahmad atau Mahmud artinya terpuji. Maka Muhammad, selalu terpuji. Pribadinya bertabur kebaikan. Dari masa kekanak, sampai kelak ke masa nubuwah.
Ayahnya Abdulloh, alat atau hamba Allah. Lelaki yang dikorbankan. Seperti moyangnya Nabi Isma’il As. Abdul Mutholib bernadzar, akan mengorbankan salah satu puteranya untuk Baitullah. Maka diundilah, dan keluarlah nama Abdulah. Diundi untuk ke dua kalinya, Abdullah yang keluar. Ketiga kalinya, Abdullah. Nadzarpun dilaksanakan. Atas putusan tersebut berembuglah pemuka Quraisy agar Abdullah diganti dengan undian unta. Sepuluh ekor unta diundi dengan Abdullah, keluarlah nama Abdullah. Ditambah, dan titambah lagi hingga pada kelipatan seribu keluarlah unta sebagai ganti kurban untuk Abdullah.
Aminah, orang yang memberikan ketentraman, rasa aman. Itulah ibunya. Yang mengandung jabang bayi yang kelak menjadi pemimin dunia dan didaku oleh Allah Swt sebagai pengemban risalah kenabian dan kerasulan. Wafatnya sang suami, membuat Muhammad yatim tatkala masih dalam kandungan. Kelahirannya kelak, yang ditandai dengan pongahnya Abrahah ingin menghancurkan Ka’bah rumah Allah Swt. Menjadi titik awal perubahan dunia, dari jahiliyah menuju benderangnya cahaya Ilahiyah.
Dengan segenap cinta tanpa suami disisinya, Aminah mendidik Muhammad kecil dengan sebaik tarbiyah. Ia dititip ke perkampungan Bani Sa’diyah. Agar fasih berbicara bahasa arab yang fusha. Agar fisiknya terjaga, karena iklim pedesaan mendukung tumbuh kembangnya. Agar tubuhnya terjauh dari rentan bahaya penyaikit. Sebab tinggal di kota, apalagi Mekkah dimusim haji penuh berjejal orang dari pelosok negeri yang tentunya membawa banyak pula penyakit.
Muhammad Saw, sang terpuji. Akhlaknya menabur kesegenap lapisan. Tengoklah sejarah, kala surat Al Muzammil mewajibkan untuk berdakwah secara terbuka. Ia siarkan kepada kaum kerabatnya. Ia siarkan kepelosok negeri. Ia jajaki Toif, membuka jalan dakwah. Yang ia dapatkan cacian, makian, penolakan bahkan pengusiran. Lirih sebait do’a terucap, “ Ya Allah ampuni umatku, bersebab mereka belum memahami “. Betapa agung kemulian pribadinya. Liriklah fragmen di Thoif.
Akhsyabain julukannya. Seperti sebutan, itu pula wujudnya. Dua yang kokoh, pejal dan keras. Bagai mempelai pengantin, keduanya menjulang tinggi dengan gagah dilatari pelaminan langit. ( Jika di Indonesia seperti Sundoro Sumbing di Banjarnegara Jawa Tengah, bagai Gede dan Pangrango di Cianjur Jawa Barat atau Halimun Salak ). Cahaya mentari pun melipir ketika bayang-bayangnya jatuh dihamparan pasir. Dinding gunung-gunung ini cadass berona merah, menyesak ke arah Thoif dan Makkah. Angin gurun yang sanggup menerbangkan kerikil, seakan tak mampu mengusiknya walau secuil. Yang satu bernama Abu Qubais, sedang pasangannya Qa’aiqa’an.
Adalah malaikat penjaga gunung ini sauatu hari digamit Jibril, menyapa seorang lelaki yang berjalan tertatih di Qarn Al Manazil. Bekas darah yang merahnya mulai menua dan lengket masih tampak di kakinya. Ada yang bening berbinar sendu di sudut matanya. Wajah itu tetap cahaya meski awan lelah dan kabut duka memayungi air mukanya. Jelas, beban berat menggenangi jiwanya, tapi kita nanti akan tahu, yang tumpah ruah tetaplah cinta.
“ Ya Rasulullah,” begitu kelak ‘Aisyah bertanya sembari bersandar mesra dibahu beliau dan menatapnya penuh cinta, “Pernakah kau alami hari yang lebih berat dari pada ketika di Uhud ?” Maka lelaki itu, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bercerita, seperti diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini.
“ Aku mendatangi para pemimpin Thoif; ‘Abdu Yalail ibn ‘Amr, Mas’ud ibn ‘Amr, dan Hubaib ibn ‘Amr Ats Tsaqafy untuk mengajak mereka kepada Allah. Salah seorang diantara mereka berkata, “ Tirai Ka’bah tersobek jika sampai Allah mengutus seorang rasul”, yang berikutnya berucap, “ Apakah Tuhanmu tak punya orang lain untuk di utus ?”, dan yang terakhir berujar, “ Aku tak mau bicara denganmu. Jika kau benar-benar Rasul, aku khawatir mendustakanmu. Jika kau bukan Rasul, maka tak layak bagiku bicara dengan seorang pendusta !”.
Persis dalam suatu peristiwa dimana Nabi mengumpulkan para kerabatnya suku Quraisy kalangan Bani Hasyim, Nabi bersabda : “ wahai saudara-saudaraku, maukah kalian aku beri satu kalimat, dimana dengan kalimat itu kalian akan menguasai seluruh jazirah Arab. Kemudian Abu Jahal menjawab: “ Jangankan satu kalimat, sepuluh kalimat berikan kepadaku “. Kemudian Nabi Saw menjawab : “ Ucapkanlah Laa ilaha illa Allah dan Muhammad Rasulullah “. Abu Jahal pun menjawab, “ Kalau itu yang engkau minta, berarti engkau mengumandangkan perang dengan semua orang Arab dan bukan Arab “.
Lalu setelah tiga hari aku menyusuri setiap sudut Thoif, mengetuk berbagai pintu, dan menawarkan Islam kepada siapapun yang kutemui, meraka pun beramai-ramai mendustakan, mengusir dan menyakitiku.
Akupun pergi dengan kegundahan hati, hingga tiba di Qarn Ats Tsa’laib. Ketika kuangkat kepalaku, maka tampaklah Jibril memanggilku dengan suara memenuhi ufuk. “ Sesungguhnya “, kata Jibril, “ Rabb mu telah mengetahui apa yang dikatakan dan diperbuat kaummu terhadapmu. Maka Dia mengutus malaikat penjaga gunung ini untuk kau perintahkan sesukamu “.
Lalu malaikat penjaga gunung menimpali, “ Ya Rasulullah, ya Nabiallah, ya Habibillah, perintahkanlah, maka aku akan membalikkan gunung Akhsyabain ini agar menimpa dan menghancurkan mereka yang talah ingkar, mendustakan, menista, mengusir, dan menyakitimu “.
“ Tidak, “ jawabku, “ sungguh, aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa rahmat, buka penyebab adzab. Bahkan, aku ingin agar dari sulbi-sulbi mereka, rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak keturunan yang mengesakan Nya dan tak menyekutukan Nya dengan sesuatu pun “.
Mari sejenak kembali kepertanyaan ibunda kita, Sang Khumaira’. Apa yang berat bagi kekasih Allah ini melebihi hari Uhud ketika tiga cincin rantai besi menancap dipelipisnya, perangkap tajam mencocor lututnya, dikabarkan terbunuh hingga cerai-berai pengikutnya, kehilangan paman tercinta Hamzah RA, dan tujuh puluh sahabat setianya menjadi syuhada ?
Hidupnya yang penuh lika-liku dan luka tapi tanpa leka itu, terlalu panjang untuk memerikasa satu demi satu jawabannya.Tapi kita tahu, yang berat baginya bukan lemparan batu, buka kala dia ruku lalu lehernya dijerat, bukan juga saat di bersujud kemudian kepalanya diinjak dan punggungnya dituangi kotoran. Bukan ! Yang berat baginya bukan caci fitnah dan cela makian, bukan tuduhan gila, penyihir, atau dukun, bukan juga tiga tahun kefakiran dalam pemboikotan.
Yang berat bagi kekasih Allah itu adalah, kala wewenang membinasakan orang-orang yang menganiaya dirinya digenggamkan penuh-penuh. Yang berat bagi kesayangan Ar Rahman itu adalah, ketika dalam gemuruh sakit lahir dan batin, peluang pelampiasan dibentangkan baginya.
Terujilah jiwanya, terbuktilah cintanya, dan tertampaklah kemuliaannya. Dia menolak dengan harapan yang memuncak atas kebaikan yang masih kelak. Dia sebenarnya diizinkan, dihalalkan, dan diridhai untuk berkata “ Ya “, lalu gemuruh gunung Akhsyabain yang menimpa musuh “ menghibur “ hatinya.
Tetapi keputusannya adalah “ Tidak !” Dan harapannya adalah “ Jika pun mereka ingkar, semoga keturunannya yang kelak akan beriman “. Keduanya telah menjadi bukti bagi namanya, “ Muhammad”, yang terpuji di langit dan di bumi.
Ialah hujah, bahwa dia ingin diutus sebagai pembawa kasih dan bukan penyebab adzab, Allah bahkan menyatakan dirinyalah rahmat bagi semesta alam. Bahwa dia datang dengan kesediaan menanggung derita ummatnya, amat menginginkan kebaikan bagi mereka, serta lembut dan welas kasih. Bahwa dia berada di atas akhlak yang agung, baik dalam akhlak pada Rabbnya, akhlak pada dirinya, juga pada sahabat maupun musuhnya. Jernih sekali Nabi menyebut hari terberat, ketika Jibril datang menawarkan pembinasaan musuh. Itulah saat kemuliaan dakwah memenangi batin yang gemuruh.
Adakah hidup seindah pribadi ini, yang terpuji di langit dan di bumi ?. Innallaha wa malaaikatihii yusholuuna ‘alan nabi, yaa ayyuhalladziina amanuu shollu ‘alaihi wasallimuu taslimaa.
=======
Di tulis ulang dari buku Lapis – Lapis Keberkahan, Salim A Fillah,Pro U Media, Offshore Laut Sumatera Selatan, 24 November 2017 dengan beberapa penambahan.
Oleh, Abi Fghi
Komentar
Posting Komentar